Add to Technorati Favorites   Personal Blogs   Top Blogs   Blog directory   Blogs Topsites - TOP.ORG   Personal blogs & blog posts   kehidupan, hidup   Personal Blogs - BlogCatalog Blog Directory

23 Januari, 2009

Financial Game

Saya baru saja membuat kesepakatan dengan anak sulung saya yang berumur delapan tahun (kelas tiga SD). Kesepakatan tersebut kami beri nama “Financial Game”, yang isinya berupa hal-hal yang berhubungan dengan uang sakunya.

Kesepakatannya kira-kira begini:
Saat ini uang sakunya setiap hari sebesar Rp 3.000,-; dimana uang tersebut diberikan oleh ibunya pagi-pagi sebelum berangkat sekolah. Biasanya, uang sudah habis pada saat pulang sekolah, atau kalau pun ada sisa, bakal dia pakai buat jajan bakso dan makanan ringan lainnya di sore hari.

Mulai hari ini, aturan main dibuat berbeda. Uang saku akan diberikan pada awal minggu, yaitu hari minggu sore untuk jatah satu minggu ke depan. Jadi, kalau minggu depan ada lima hari sekolah, uang yang akan diberikan sebesar Rp 15.000,- (5 x Rp 3.000,-). Dia bebas buat mempergunakan uang tersebut selama seminggu, for whatever purpose. Setiap jum’at sore, kami akan mengecek jumlah uang yang tersisa, dan saya akan memberikan bonus tambahan sebesar 10% dari jumlah uang yang tersisa. Misalkan, uang yang tersisa di akhir minggu adalah Rp 10.000,- maka bonus mingguan yang diberikan Rp 1.000,-. Jumlah uang sisa plus bonus tersebut harus dia masukkan ke dalam celengan yang ada katup pembuka di bawahnya.

Demikan, pada awal minggu selanjutnya dia akan diberi “modal” Rp 3.000,- dikali jumlah hari sekolah lagi, dan pada akhir minggu kembali dilakukan checking bersama-sama. Bila pada suatu minggu tertentu uang yang diberikan telah habis sebelum akhir minggu, dia berhak mengambil sejumlah uang dari celengannya, untuk mencukupi uang saku hari-hari berikutnya sampai akhir minggu. Agar saldo celengan lebih terorganisir, ada satu buku yang diberi nama “Buku Celengan”, isinya mengenai historikal pemasukan uang ke dalam celengan dan pengambilan uang dari celengan. Buku itu harus diisi olehnya, dan terbuka untuk dibaca setiap saat oleh kami semua.

Hal itu akan dilakukan secara rutin, dan pada akhir tahun ajaran (disepakati setiap tanggal 31 Mei), kami akan membuka celengannya dan menghitung jumlah uang dalam celengan. Pada saat itu, saya akan memberikan “bonus tahunan” sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari jumlah uang yang ada di celengan. Uang hasil “keringat”nya tersebut boleh dia pergunakan buat jajan selama liburan, beli baju dan barang lain yang dia suka, atau apa pun yang dia inginkan; kemudian sisanya ditabungkan di bank, rekening atas nama dia, dan tidak boleh diganggu gugat !

Untuk menambah semangatnya, saya ilustrasikan jumlah maksimum uang yang bisa dia dapatkan setiap tahun. Ilustrasinya, dengan asumsi dia tidak pernah spend money, maka setiap akhir minggu uang yang terkumpul akan menjadi sebesar Rp 15.000,- dan bonus mingguan adalah Rp 1.500,- (10%). Maka, jumlah pemasukan ke celengan setiap minggu adalah sebesar Rp 16.500,-. Dengan asumsi satu tahun ajaran terdiri dari 50 minggu, pada akhir tahun ajaran jumlah celengannya menjadi Rp 825.000,- (50 x Rp 16.500,-). Bonus tahunan dari saya adalah Rp 8.250.000,- (10 x Rp 825.000,-), sehingga pada akhir tahun ajaran uang yang dimilikinya akan menjadi Rp 9.075.000,- !!

Aha . . . , dia begitu bersemangat dan otaknya langsung dipenuhi dengan seribu cita-cita (ha ha ha . . .); penuh antusiasme untuk memulai financial game ini sesegera mungkin.

Dengan memainkan financial game ini, yang juga dia sukai secara antusias, ada beberapa sasaran yang menjadi tujuan saya:
  1. Melalui permainan ini, saya mencoba mendidik anak saya untuk melek secara finansial. Saya harap mindset-nya bisa berubah dari “bagaimana caranya menghabiskan uang” menjadi “bagaimana caranya mengatur uang”, menjadi lebih bijaksana dalam mengeluarkan uang, mengetahui dasar-dasar pembukuan dan anggaran, serta yang paling penting adalah mempergunakan uang lebih berdasarkan kebutuhan daripada keinginan semata. Dasar-dasar ini saya anggap sangat berguna baginya di kemudian hari, pada saat dia sudah dewasa, memiliki penghasilan bulanan, serta harus mengalokasikan penghasilannya tersebut secara bijaksana setiap bulan.
  2. Dia terbiasa untuk memiliki long-term goal dalam hidupnya, yang dalam permainan ini di-set tahunan. Dengan memiliki cita-cita dan target tahunan, otomatis hari-harinya tidak akan dibiarkan mengalir tanpa tujuan namun terisi oleh hal-hal positif dalam rangka mencapai target yang dicanangkannya sendiri. Karena tidak ada paksaan, tekanan, maupun instruksi dari orang lain, dia akan melakukannya secara bebas dengan hati gembira, dan akan dengan mudah masuk ke dalam pikiran bawah sadarnya serta menjadi sebuah kebiasaan. Khusus untuk permainan ini, bila telah dilakukan beberapa tahun, mungkin jumlah tabungannya bahkan menjadi cukup signifikan untuk membayar biaya sekolah (misal: uang pangkal masuk Sekolah Menengah), dan akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi dia karena dia bisa membayar biaya sekolah dari hasil usahanya sendiri !
  3. Kalau memang dia ternyata cukup kreatif, mungkin saja dia bukan hanya akan berpikir bagaimana caranya mengatur pengeluaran dari uang yang diberikan, tapi bahkan berpikir bagaimana caranya supaya uangnya bertambah banyak (tanpa meminta), agar bonus yang didapat semakin besar. Who knows ? Apabila dia ternyata memiliki jiwa wirausaha, permainan ini dapat menjadi salah satu cara untuk mengasahnya sejak dini.
  4. Bagi saya sendiri, berarti saya harus siap-siap untuk menyiapkan sejumlah uang bonus setiap pertengahan tahun, ha ha ha . . .
Apapun tujuannya, game ini akan saya lakukan apabila dia masih tetap gembira serta antusias dalam memainkannya. Saya tidak ingin dia melakukannya dengan terpaksa, karena akan menjadi tidak baik bagi perkembangan jiwanya. Satu tambahan kewaspadaan dibutuhkan, agar permainan ini tidak membuatnya malah tersesat menjadi seorang yang serakah.

“Having a good goal, find a good way, then implement the good rules; finally you will achieve a good result !”


Baca Selanjutnya...

21 Januari, 2009

Kiamat, 2012 . . . ??

Dua hari yang lalu, dalam perbincangan santai keluarga yang memang cukup sering kami lakukan, anak sulung saya yang masih duduk di kelas tiga SD (umurnya 8 tahun) menanyakan beberapa hal yang agak berbeda dari biasanya. Pertama dia bertanya mengenai surga dan neraka, dan kemana manusia setelah kehidupan berakhir. Saya mencoba menjawabnya dalam perspektif spiritual yang sepadan dengan umurnya agar cukup dapat dimengerti. Setelah itu, dia bertanya tentang matahari, inti pertanyaannya adalah bagaimana manusia bisa sampai ke matahari. Saya jawab lagi bahwa dengan teknologi yang dimiliki sekarang, tidak mungkin untuk mencapai matahari karena kendala jarak dan panas matahari, dimana permukaannya saja mempunyai tingkat kepanasan sekitar 6000 derajat celcius. Dia bertanya lagi, mengenai kemungkinan menerobos ke dalam bumi, apa yang terjadi kalau banyak meteor jatuh ke bumi, dan hal-hal sekitar itu. Dalam hati saya mulai curiga, apa sebenarnya yang sedang dia pikirkan?

Obrolan berkembang terus, sampai suatu saat dia menyebutkan angka 2012 !

Saya mulai merasa jelas kemana arah pembicaraannya, dan saya tanyakan apa yang dia tahu mengenai tahun 2012 ? Usut punya usut, ternyata antara teman-teman sebaya di sekolahnya, entah dimulai dari siapa, berkembang cerita mengenai akhir kehidupan, yaitu kiamat pada tahun 2012, dimana banyak meteor akan jatuh dan memporak-porandakan bumi (busyeet . . ., for parrents who have kids, please be aware about this !! ). Dan yang lebih menarik lagi, ternyata dia sedang memikirkan bagaimana caranya agar bisa menghindar / selamat dari bencana itu (What an amazing innovative thinking of 8 years old kid ! ).

Tidak terasa, sambil mengobrol pikiran saya mulai mengembara dan teringat kembali perbincangan yang cukup marak di internet beberapa saat lalu, yaitu mengenai tahun 2012. Topiknya mengenai kalender suku Maya di benua Amerika yang mencakup sekitar 5000 tahun penanggalan, dan konon, bila kalender tersebut dikonversi ke kalender masehi, tanggal akhir kalender suku Maya akan jatuh pada tanggal 21 Desember 2012, setelah itu . . . blank! Kemudian juga ucapan Mama Loren bahwa pandangan mata gaibnya hanya bisa menembus sampai tahun 2012, setelah itu tertutup oleh semacam tirai/kelambu. Beredar pula isyu tengah dikerjakannya mega proyek pembuatan bunker raksasa di negara Amerika entah untuk tujuan apa. Ditarik ke perbincangan prasejarah, muncul pembicaraan mengenai siklus kehidupan bumi, bahwa kalender Maya menggambarkan rentetan peradaban manusia untuk siklus 5000 tahun yang sekarang, dan sebelumnya pernah ada siklus-siklus kehidupan, diantaranya mengenai benua Atlantis dan Lemura sekitar tahun 11 ribu SM. Menurut “legenda” tersebut, pada setiap siklusnya manusia memulai dengan peradaban yang sangat sederhana, berkembang menjadi manusia dengan peradaban super, kemudian pada akhir siklus sebagian terbesar dimusnahkan dan hanya tersisa segelintir orang yang akan memulai siklus baru dengan peradaban baru yang dimulai dari nol lagi. Untuk siklus yang sekarang, (konon) sebuah planet X-Nibiru yang jauh lebih besar dari bumi telah nyantol di peredaran planet-planet tatasurya kita dengan lintasan yang berbeda dengan planet lainnya, dan pada tahun 2012 planet tersebut akan berpapasan sangat dekat dengan bumi (atau menabrak bumi ? ), sehingga menimbulkan efek yang tidak dapat dibayangkan. Intinya, pada tahun 2012 mungkin akan terjadi sesuatu, entah itu berupa bencana dashyat, perubahan dimensi kehidupan dengan ditemukannya mesin waktu, UFO, atau the end of the world.

Terlalu pelik untuk dibayangkan! Permenungan saya sampai pada titik pertanyaan, bila memang pada tahun 2012 (atau tahun-tahun selanjutnya) manusia termasuk saya musnah / mati, atau bila itu tidak terjadi pun, toh memang tidak dapat dihindari suatu saat entah kapan kita harus mati, so apa yang telah saya lakukan selama ini dan apa yang sebaiknya saya lakukan (anggap bahwa hanya tersisa 3 tahun lagi buat kita)?

Karena saya termasuk orang yang “mencintai” hidup, yang pertama terbayang adalah bagaimana saya dapat memanfaatkan sisa waktu dengan sebaik-baiknya. Bekerja dan berpikir terlalu keras menjadi tidak berarti lagi, dan kehidupan harus diisi dengan aneka cara untuk menjadikannya lebih berarti. Earning money for long term goal is nothing, the question now is how to earn money and then find valuable way to spend that money.

Hal kedua yang terbayang adalah keluarga. Saya sangat mencintai istri dan anak-anak. Membayangkan waktu kami sudah tidak banyak, alangkah baiknya bila saya lebih banyak lagi meluangkan waktu dan kasih bagi mereka, memberi kesenangan kepada mereka, dan menuntun mereka agar “siap” menghadapi kiamat, baik kiamat besar (end of the world) maupun kiamat kecil (kematian). Sekarang pula waktunya untuk berbagi dengan orang tua, sanak famili, dan teman-teman terdekat, agar kami menjadi lebih berarti satu sama lain.

Yang ketiga, karena saya adalah manusia yang penuh dengan kesalahan, saya harus menyiapkan diri dari sekarang menyambut saat waktu itu tiba. Berbuat kebaikan adalah salah satu caranya, sebagai penyeimbang kesalahan yang telah dan akan terus dilakukan. Saya harus, mau tidak mau, menyiapkan diri untuk kematian itu sendiri. Mungkinkah ??

Pengembaraan berhenti ketika terdengar lagi suara anak saya, “Papa, aku takut kalau aku mati, aku kan masih kecil . . . !”
Saya tersenyum, dan berkata kepadanya bahwa isyu tersebut tidak betul, karena tidak ada seorang manusia pun yang tahu kapan kiamat akan tiba.
“Yang penting, dekatlah dengan Tuhan, maka kamu akan tentram. Selebihnya, tidak perlu dipikirkan, karena tidak bermanfaat!”
Ya, memang tidak ada seorang pun yang tahu. Yang pasti, saya pun terus berencana dan berpikir untuk bahkan sampai sepuluh tahun kedepan, dan roda
kehidupan saya tidak akan berhenti karena isyu-isyu apapun juga.

Seperti kata seorang bijak, “beribadah lah seakan-akan hidupmu tinggal sehari lagi, namun berusaha lah seakan-akan engkau akan hidup seribu tahun lagi”.



Baca Selanjutnya...

20 Januari, 2009

Kembali ke Fitrah Kehidupan

Lagi bengong-bengong sendirian, saya tiba-tiba teringat sama satu dongeng analogi tentang kehidupan yang pernah saya baca di beberapa buku.

Alkisah, suatu masa Tuhan menciptakan manusia, dan jreeengg . . . jadilah manusia.

Lalu Tuhan ngomong sama ciptaanNya,”Aku kasih kamu umur 30 tahun, hidup yang senang ya di dunia!”
Manusia bahagia, dan memulai kehidupannya.

Baru seminggu hidup, manusia datangin Tuhan dan ngeluh, “Han, saya capek nih mesti cari makan ngebajak sawah, kasih sesuatu donk buat bantuin saya”.

Tuhan menciptakan kerbau, dan dikasih umur 30 tahun. Kerbau nanya, “Han, apa kerjaan saya di dunia?”.
“Kamu mesti kerja bantuin manusia ngebajak sawah!” jawab Tuhan.
Si kerbau mikir “ . . . waduh, nggak tahan saya 30 tahun mesti kerja terus, ogah ah . . . “, terus nawar “Han, saya hidup 10 tahun aja deh”

Permohonan dikabulkan, umur kerbau jadi 10 tahun. Tapi abis itu Tuhan punya sedikit problem, kelebihan stok umur 20 tahun yang udah terlanjur dikasih, mesti dialokasikan. Tuhan nanya manusia, “Cing, mau nggak umur kamu ditambah 20 tahun?”
Nggak pikir panjang, si Encing langsung bilang, “Ok!”. Enak kok kehidupan di dunia.
Hiduplah manusia dibantuin si kerbau.

Seminggu kemudian, manusia ngeluh lagi karena bosen jaga rumah, “Han, bosen nih jaga rumah terus, bisa bantu nggak?”
Diciptakanlah anjing, dikasih umur 30 tahun. Anjing yang pinter tahu kerjaannya Cuma jagain rumah, nawar juga supaya umurnya 10 tahun aja. Dikabulkan !
Another 20 tahun stok disamber sama manusia.

Baru seminggu diam, manusia ngeluh lagi, pingin punya teman main. Monyet tercipta, dikasih umur 30 tahun nawar jadi 10 tahun, sisanya diambil manusia yang maruk.

Demikian, masa berlalu, manusia punya umur 90 tahun:

30 tahun pertama, dia betul-betul menjadi manusia, masa kanak-kanak yang lugu, masa sekolah yang menyenangkan nggak banyak pikiran, dan tahun-tahun pertama kerja yang menantang.

20 tahun berikutnya, mesti kerja keras kayak kerbau, karena udah banyak tanggungan (istri, anak, kartu kredit, hutang, etc). Karyawan & eksekutif kerja keras kadang saling sikut buat dapat promosi jabatan dan gaji yang lebih besar. Profesional macam dokter-konsultan-artis-pengacara banting tulang cari nama naikin peringkat kadang dengan usaha yang sangat “keras”. Pengusaha sibuk berkutat cari profit, itupun berkali-kali sengsara kehantem krisis (mate deh gw!)

20 tahun selanjutnya, udah terlalu capek kerja keras, jadi kayak anjing jagain rumah anaknya atau jagain cucu.

Dan 20 tahun terakhir, “Ngaca dunk, muka dah kayak monyet tuh!”

Sedikit permenungan, benarkah itu fitrah kehidupan manusia? 30 tahun sebagai manusia yang bebas, lalu tahun-tahun berikutnya disetir sang waktu dan dipaksa jadi kayak kerbau, anjing, dan monyet?

Nope, balik lagi ke awal dongeng, Tuhan berkata “ . . . hidup yang senang ya di dunia!”
Fitrah manusia selama kehidupan, adalah hidup senang dan bahagia. Pertanyaannya buat orang yang pragmatis, bisakah . . .?

Kalo kamu nanya ke saya, jawaban saya sederhana aja, “Saya pingin tiba-tiba dapat duit 20 milyar – terserah nggak tahu dari mana, akan saya simpan di bank, tiap bulan dapat bunga atau bagi hasil syariah (200 juta sebulan, Cing. Udah dihitung ! ), dan main + jalan-jalan kayak anak sekolah touring,nggak ada pikiran, ha ha ha . . .

Emang dunia mimpi, apa? he he he . . . ; jelas keinginan saya tidak fisibel ditinjau dari analisis apapun juga.

Tapi, kalau umur kita bisa sampai 90 tahun, atau banter-banter 70 tahun deh, selayaknya kita bertanya untuk kembali ke fitrah awal, bahwa yang kita cari adalah kebahagiaan, sementara sekarang kita mungkin sudah terlanjur menjadi sang kerbau.
Terus gimana donk?

Sekedar sharing, ada beberapa langkah dan permenungan yang mungkin bisa dilakukan;

Pertama, adalah mencoba mensyukuri apa yang telah kita dapat dan lakukan sampai saat ini. Itu adalah langkah awal yang paling simpel. Dengan mencoba bersyukur (walaupun pura-pura, gpp), minimal kita dapat sedikit mendekat ke fitrah karena manusia yang bersyukur biasanya nggak terlalu ambisius. Sehinggaaaa …… , kejadian dan usaha nggak wajar buat sikut kiri sikut kanan, dan pengorbanan berlebihan bisa ditendang dari kehidupan sehari-hari.

Langkah kedua, bertanya lagi dalam hati kecil kita, benarkah apa yang sekarang menjadi profesi kita, adalah sesuai dengan minat/intensi kita? Kalau jawabannya “Yes”, beruntung deh kamuuu. Kalau kita bekerja di bidang yang memang kita sukai, maka kita bekerja dengan hati, dan pekerjaan merupakan beban yang minimal bagi kehidupan kita, jadi kayak main aja … gittuu … . Trus, kalau jawabannya “NO” gimana? Beranikah kita keluar dari zona nyaman dan memikirkan lagi hal-hal apa yang sebenarnya kita sukai dalam hidup, lalu kembali merancang dari titik yang lebih "tidak nyaman"?

Langkah ketiga, kebahagiaan datang salah satunya dengan cara memberi, karena energi positif kebahagiaan yang kita keluarkan pada saat kita memberi akan bergema dan kembali dengan impuls yang lebih besar kepada diri kita. Memberi bukan hanya terbatas pada uang atau harta. Perhatian, kasih sayang, sapaan hangat, sumbangsih pemecahan masalah, dan lain-lain, termasuk dalam kategori memberi. Nggak usah muluk-muluk jadi dermawan ke semua orang, hal-hal yang kita beri kepada keluarga (istri, suami, anak, kakak, adik, ortu) atau kepada rekan terdekat (pacar, teman dekat), rasanya sudah lebih dari cukup kalau bisa dilakukan dengan sepenuh hati.

Dengan ketiga hal itu, mudah-mudahan kita bisa mendekat ke fitrah awal kehidupan sebagai manusia seutuhnya, walaupun dalam kehidupan ini nggak ada yang sempurna, betullll . . . ?

Catatan :
Artikel ini tidak bertujuan untuk kotbah tetapi lebih sebagai sebuah sharing dan berbagi kasih, karena saya sendiri belum tentu bisa melakukan ketiga langkah tersebut dengan baik. Seperti kata seorang kawan, life is not a bed of roses, dan banyak faktor-faktor yang di luar kontrol kita dalam kehidupan ini.

Percaya sama takdir dan nasib nggak?









Baca Selanjutnya...

  © Blogger template AutumnFall by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP